Jumat, 13 Juli 2012

Penerapan Arsitektur Bisnis Untuk Pengelolaan Perguruan Tinggi

Oleh : Hendri Teja

Ketika saya menawarkan arsitektur bisnis untuk meningkatkan kinerja perguruan tinggi, banyak rekan-rekan pendidik yang sangsi. “Memangnya institusi pendidikan itu perusahaan?” menjadi sanggahan yang paling sering diajukan. Benar. Perguruan tinggi bukan perusahaan. Tetapi keduanya sama-sama organisasi. Dan sesungguhnya arsitektur bisnis memang sengaja diciptakan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Untuk menggerus salah kaprah ini, maka Mathiyas Thaib mendefinisikan arsitektur bisnis sebagai  cetak biru (blue print) atau rancangan dan rencana menyeluruh (comprehensive) serta terintegrasi (integrated) yang dimulai dari level atas (strategic layer) sampai kepada level bawah (operational layer). Definisi ini sangat khas organisasi bukan perusahaan semata.

Jiwa Arsitektur Bisnis

Lebih lanjut, arsitektur bisnis dijiwai oleh tiga konsep dasar yaitu Balanced Scorecard (BSC), rantai nilai (value chain) dan proses bisnis. Mari kita bedah, konsep ini satu persatu.

1. Balanced Scorecard (BSC)
Merupakan pendekatan baru terhadap manajemen, yang dikembangkan pada tahun 1990-an oleh Robert Kaplan (Harvard Business School) dan David Norton (Renaissance Solution, Inc.). BSC hadir sebagai kritik atas mainstream pengukuran kinerja keuangan, di mana keberhasilan perusahaan hanya dinilai dari segi keseimbangan neraca (balance sheet). BSC menawarkan pengukuran kinerja melalui empat perspektif, yaitu : (1) perspektif pembelajaran, (2) perspektif internal proses, (3) perspektif pengguna, dan (4) perspektif keuangan. BSC dinilai lebih layak karena, bagaimanapun juga, untuk memandu dan mengevaluasi suatu perjalanan perusahaan pada era informasi, harus disusun suatu nilai masa depan melalui investasi pada pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi, dan inovasi.
2. Proses Bisnis
Pertama kali dilontarkan oleh Michael Hammer (Massachusetts Institute of Technology) dalam bukunya yang sangat terkenal “Business Process Reengineering” pada tahun 90‐an.  Ia bermaksud menyederhanakan cara‐cara bekerja korporasi dan pemerintah yang sudah terlanjur menjadi sangat birokratis, yang menyebabkan ketidakefisienan dan sangat sulit diintegrasikan dengan pendayagunaan teknologi informasi. Proses bisnis dapat didefinisikan sebagai kumpulan proses kerja yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan hubungan sebab akibat satu sama lainnya serta memiliki tujuan akhir di dalam sebuah organisasi perusahaan atau lembaga. Tujuan akhir proses bisnis adalah menciptakan atau memberikan nilai maksimun kepada para penggunanya.

3. Rantai Nilai (value chain)
Dipopulerkan oleh Michael  Porter, dan merupakan pengembangan dari konsep  proses bisnisnya Michael Hammer.  Inti dari konsep ini adalah penciptaan nilai tambah dari setiap aktivitas, proses kerja dan proses bisnis yang dilakukan.  Penjelasan seperti ini. Dalam menjalankan proses kerja di organisasi pasti terjadi hubungan atau interaksi antar proses baik di dalam kelompok proses utama maupun dengan proses penunjang. Ibarat suatu mata rantai (chain), masing-masing interaksi tersebut saling memiliki keterkaitan. Setiap aktivitas harus menciptakan nilai tambah untuk aktivitas berikutnya. Secara totalitas keterkaitan aktivitas-aktivitas tersebut merupakan proses penciptaan nilai tambah (added value). Sehingga aktivitas dan atau proses yang tidak bernilai tambah sebaiknya ditiadakan saja.

Maka jika arsitektur bisnis diibaratkan sebagai gedung pencakar langit. BSC adalah lantai-lantainya. Pada setiap lantai terjadi berbagai aktifitas yang kemudian menjadi proses kerja dan akhirnya membangun suatu proses bisnis. Interaksi antar proses baik di dalam kelompok proses utama maupun dengan proses penunjang saling terkait selayak mata rantai, di mana setiap proses bisnis berorientasi untuk meningkatkan nilai tambah bagi proses bisnis selanjutnya

Peta Operasional Perguruan Tinggi

Lantas, bagaimana konkrit penerapan arsitektur bisnis di perguruan tinggi? Secara paripurna tulisan ini akan sulit mengakomodir penerapannya. Karena itu kali ini kita akan menekankan pada generik strateginya saja, yaitu peta operasional perguruan tinggi.
Ketika bicara tentang peta operasional, maka kita akan mendedah tujuan organisasi. Banyak nian tujuan perguruan tinggi yang disosorkan. Tetapi jika mau dipukul rata, sebenarnya arahannya adalah benefit dan profit. Dan muara dari keduanya adalah pencapaian peningkatan nilai organisasi secara berkelanjutan.
Kelemahan mendasar dari banyak organisasi di tanah air kita adalah kegagalan menyusun peta operasional. Kegagalan ini menyebabkan ketidaktepatan strategi dan dampak dari strategi dengan harapan dari organisasi itu sendiri. Parahnya, seringkali manajemen perguruan tinggi hanya berfokus pada “ujung” operasional. Strategi yang dipakai berada di tahap “nyaris ke ujung”. Padahal yang namanya “ujung” tidak akan pernah terlepas dari keberadaan pangkal.

Ambil contoh, perguruan tinggi ingin menekankan peningkatan profit. Strategi yang diterapkan adalah membangun citra layanan pembelajaran. Manajemen pemasaran nomor wahid digelontorkan. Walhasil, berduyun-duyunlah calon mahasiswa baru mendaftar.
Namun, bagaimanapun penyelenggaraan perguruan tinggi tidak berhenti di tahapan penjualan. Salah satu proses utama adalah manajemen pembelajaran. Ini akan terkait dengan kualitas, biaya dan waktu penyerahan jasa tersebut. Jika pemasaran tidak iikuti dengan peningkatan manajemen pembelajaran, akibatnya pasti mahasiswa akan kecewa. Kualitas pembelajaran anjlok karena sarana prasarana tidak memadai, dosen tidak kompeten, tenaga kependidikan tidak ramah dan gemar mempersulit mahasiswa. Peserta didik yang kecewa dapat melakukan gerakan-gerakan yang menghambat penyelenggaraan perguruan tinggi –unjukrasa misalnya. Di lain sisi, sudah pasti kelemahan manajemen pembelajaran akan berdampak pada rendahnya kompetensi lulusan. Boleh jadi kekecawaan akan berlanjut pada perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan alumni perguruan tinggi tersebut.
Lalu sadarlah kita bahwa untuk mencapai peningkatan nilai perguruan tinggi harus melintasi tahapan-tahapan, yaitu perspektif pembelajaran, perspektif internal proses, perspektif pengguna dan perspektif pemilik. Sebagai suatu tahapan maka jangan harap kondisi yang termaktub perspektif pemilik dapat dicapai dengan hanya menekankan perspektif pengguna semata. Pasalnya, perspektif pengguna adalah akibat dari perspektif internal proses yang merupakan muara dari kinerja perspektif pembelajaran. Pembagian ini adalah penerapan dari konsep BSC.

Misalnya begini. Peningkatan teknologi dan informasi pada perspektif pembelajaran akan berdampak membaiknya penggunaan sarana dan prasarana serta pembelajaran pada perpektif internal proses. Jika keduanya baik, secara otomatis  maka kualitas pembelajaran akan baik, biaya pembelajaran akan menurun, dan waktu pembelajaran juga akan membaik. Jika kualitas, biaya dan waktu tersebut membaik akan mendorong peningkatan  kompetensi dan prestasi dari mahasiswa. Ini adalah logika kausalitas yang menjiwai konsep rantai nilai.
Permasalahannya, bagaimana cara melaksanakannya? Peta operasional hanya memuat gagasan dasar, untuk dapat workable maka perlu dirumuskan tujuan strategi untuk setiap pemangku kepentingan, yang dilanjutkan dengan penetapan target strategi. Target inilah yang dijadikan tolok ukur proses pencapaian atau biasa disebut Key Performance Indicator. Setiap tujuan strategi memiliki program inisiatif yang harus dijalankan dan dilaksanakan secara berkelanjutan.
Untuk mencapai target-target tersebut maka program inisiatif harus di-breakdown lagi menjadi aktivitas-aktivitas sehingga semua tahu “siapa bertindak apa”. Semakin besar suatu organisasi maka semakin kompleks program insiatif yang harus dilakukan, dan semakin banyaklah aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan. Untuk lebih memudahkan perancangan ini, Mathiyas Thaib telah merancang  I- MT Diagram seperti terlihat pada gambar berikut ini :



Pada titik ini mungkin timbul pertanyaan mengerikan, “jadi setiap aktivitas tersebut harus dilakukan?” Tidak begitu juga. Porter menyebut untuk mencapai kinerja maksimal harus dipilih aktivitas utama dari ratusan aktivitas yang tersedia dalam proses bisnisnya agar tercapai diferensiasi dan tidak mudah ditiru oleh pesaingnya. Aktivitas utama ini adalah aktivitas yang dinilai berdampak signifikan terhadap pencapaian kinerja. Kemudian selenggarakan aktivitas dan proses tersebut dengan cara terbaik dan maksimal untuk memenuhi keinginan pelanggannya.



Tentu saja untuk menemukan KPI dan aktivitas utama tidaklah mudah. Perlu waktu khusus untuk menyusun KPI dari masing-masing perspektif, merumuskan program inisiatif dan mem-breakdown-nya menjadi aktivitas-aktivitas, dan menentukan aktivitas utamanya.
Perumusan ini hanya akan tepat sasaran jika kalangan manajemen kunci dan para pihak yang terkait dengan perumusan tersebut paham akan BSC, rantai nilai dan proses bisnis. Tiga konsep yang menjadi jiwa dari arsitektur bisnis.


Membangun Keadilan Sosial Ekonomi dari Koperasi

Koperasi adalah organisasi orang-orang yang dilandaskan pada prinsip yang jelas, kerjasama adalah kuncinya, bagi si miskin maupun si kaya, tua atau muda, laki-laki atau perempuan. Siapapun mereka, apakah sebagai individu-individu atau merupakan representasi sebuah kelompok dan bagi mereka segala usahanya ditujukan bagi tegaknya keadilan, demokrasi partisipatif adalah afiliasi koperasi. Tidak ada sifat permusuhan bagi koperasi terhadap siapapun. Tetapi koperasi dengan caranya sendiri sudah barang tentu menolak segala bentuk eksploitasi, penindasan, pembodohan, pemelaratan, dan sebagainya. Kezaliman adalah musuh abadi koperasi. 


Koperasi adalah bangunan sistem yang menginginkan terjadinya keadilan sosial ekonomi secara partisipatif. Di mana kita pahami bahwa suatu sistem ekonomi tentu tidak hanya sebuah perangkat institusional untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan yang ada, tetapi juga sebagai suatu cara untuk menciptakan dan membentuk keinginan-keinginan di masa depan. Demikian antara lain yang disampaikan oleh Suroto, Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), salah satu pemakalah Seminar Nasional bertema ”Bersama Kaum Muda Membangun Ekonomi Bangsa”. Seminar tersebut diselenggarakan oleh Program Studi Manajemen Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta kerjasama dengan Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) Jakarta, bertempat di Ruang Koendjono Lt 4 Gedung Pusat USD pada Senin (14/5) lalu. 


Inkopdit adalah induk koperasi kredit atau Credit Union (CU) yang awalnya dari Jerman Barat. Koperasi Kredit ini mulai di Indonesia sejak tahun 1970-an. Motto Cu adalah membantu diri sendiri dan membantu sesama. Credit Union sendiri artinya kumpulan orang-orang yang saling percaya. Demikian menurut Abat Elias, General Manager Inkopdit (alumnus Universitas Sebelas Maret Surakarta, 1986) dalam makalahnya berjudul ”Prospek Koperasi Kredit (Credit Union) di Tengah Lembaga Keuangan di Indonesia”.
Lebih lanjut ia mengatakan dalam kesimpulan bahwa CU/Koperasi pada umumnya hadir untuk mengimbangi kekuatan kapitalis yang sangat tidak adil terhadap mereka yang memiliki kemampuan kurang, yaitu sebagian besar rakyat Indonesia sendiri. Oleh karena itu kaum muda Indonesia harus lebih awal dan segera untuk memperkuat barisan dalam usaha membela hak-hak kaum yang kurang mampu. 



Rektor USD, Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtomo, SJ dalam sambutannya mengatakan bahwa perlunya kerjasama kelembagaan dalam usaha pemberdayaan SDM Indonesia. Sementara menurut Patrick Vivid, Ketua Panitia menambahkan bahwa kerjasama USD dengan Inkopdit ini untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan prinsip koperasi kredit/CU.
Dalam seminar tersebut juga menampilkan pemakalah lainnya, seperti: Titus Odong Kusumajati (USD) dengan tema ”CU sebagai Genuine Coorperative di Indonesia”; Prof. Lincolin Arsyad (Direktur MM UGM) dengan tema ”Prospek Koperasi Kredit/CU di Tengah Persaingan Bisnis Jasa Keuangan”; dan Romanus Woga (Ketua Pengurus Inkopdit) dengan tema ”Peran Koperasi Kredit/CU dalam Pembangunan Nasional”.
Seminar dihadiri sekitar 300 peserta, sebagian besar mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, seperti USD, UGM, UNY, dosen, birokrat, koperasi, LSM, Organisasi Masyarakat, dan lain-lain.
Suwandi



Tentang Kementerian Koperasi dan UKM



Di Indonesia, ide-ide perkoperasian diperkenalkan pertama kali oleh Patih di Purwokerto, Jawa Tengah, R. Aria Wiraatmadja yang pada tahun 1896 mendirikan sebuah Bank untuk Pegawai Negeri. Cita-cita semangat tersebut selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode.

Pada tahun 1908, Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe Cooperatieve.

Pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi. Hingga saat ini kepedulian pemerintah terhadap keberadaan koperasi nampak jelas dengan membentuk lembaga yang secara khusus menangani pembinaan dan pengembangan koperasi.



Membangun Jaringan Usaha Koperasi Melalui Pelibatan Kakek-kakek, Nenek-nenek dan Atau Anak Muda yang Aneh, Mungkinkah?

disampaikan pada acara “lokakarya dalam rangka HUT Koperasi”, dilaksanakan oleh Dekopinda Kab.Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia, Tanggal 14 July 2012



A. Pembuka : Menguak Sejarah Singkat Kelahiran Koperasi di Dunia
Suatu ketika, beberapa orang buruh pabrik berkumpual dan membicarakan tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih berpengharapan. Gaji kecil dan kebijakan pemilik perusahaan (majikan) yang cenderung egois dan tak berperikemanusiaan, membuat kebutuhan hidup mereka kian terancam. Mereka merasa tak punya masa depan sama sekali. ”Persamaan nasib” telah melahirkan semangat untuk merubah keadaan. Menghujat majikan bukan pilihan yang menarik, karena bagaimanapun juga sang majikan telah memberi mereka kehidupan walau masih jauh dari harapan. Berbuat hal yang sama seperti majikan (membangun pabrik) juga sebuak kemustahilan atau mimpi yang terlalu jauh. Akhirnya, mereka berkomitmen menyatukan segala potensi dan sumber daya yang ada pada masing-masing orang. Karya pertama dari penyatuan potensi itu berwujud “toko” yang menyediakan segala kebutuhan mereka. Semua anggotanya berkomitmen untuk membelanjakan kebutuhan di toko itu. Dalam waktu singkat, toko tersebut menjadi besar dan bahkan bisa menghasilkan akumulasi margin yang mereka nikmati bersama. Akhirnya mereka menyadari bahwa kebersamaan itu mendatangkan manfaat yang luar biasa. Disatu sisi mereka tetap bisa bekerja menjadi buruh di pabrik tersebut dan mendapatkan gaji tetap, disisi lain mereka bisa menciptakan efisiensi melalui toko yang mereka miliki bersama-sama. Dalam perjalanannya, toko itu kemudian menjadi besar dan menjadi pembicaraan banyak orang. Kemudian mereka nama kan”kebersamaan” itu “koperasi (co-operative)”.

Cerita singkat diatas di atas adalah cikal bakal lahirnya koperasi pertama yang kemudian menginspirasi kelahiran koperasi-koperasi lain di dunia ini, termasuk di Indonesia . Berkaca dari sejarah tersebut dan kemudian membandingkan dengan sejarah terbentuknya koperasi –koperasi di Indonesia, tentu terdapat perbedaan situasi. Namun demikian, ada satu kesamaan yaitu spirit menyemangati kelahirannya yaitu ”kebersamaan”. Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kondisi insan-insan yang membentuk koperasi masa kini mayoritas jauh lebih baik dari pada nasib buruh-buruh pabrik itu. 

Andai kemudian semangat membangun kebersamaan saat ini seperti semangat yang melekat pada buruh dalam membentuk koperasi pertama di dunia itu, sesungguhnya koperasi di Indonesia jauh lebih berpeluang membangun dan mengembangkan aktivitas apapun . Bayangkan, seandainya bila semua anggota koperasi membelanjakan kebutuhannya di toko milik koperasi, maka dipastikan harga-harga di toko akan sama dengan supermarket sebab kuantitas pembelian barang dari supplier berjumlah sama atau bahkan lebih dibanding yang dibeli oleh supermarket. Andai semua anggota berkomitmen menekan atau mengendalikan naluri konsumsinya dan menabungkan sisanya di koperasi, maka akan terkumpul sejumlah uang yang bisa dimanfatkan untuk untuk memenuhi kebutuhan pinjaman sebagian anggota yang sedang membutuhkan. Bahkan, koperasi tak akan kesulitan modal bila ingin mengembangkan aktivitas-aktivitas baru dalam rangka menyediakan segala kebutuhan anggotanya. 

B. Koperasi di Tengah Himpitan Individualisme Menggejala
Dalam konteks sejarah “kebersamaan”, sesungguhnya rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran sangat berpeluang mengembangkan koperasi. Namun demikian, fakta lapangan menunjukkan masih jarang dan sulit mendapatkan koperasi yang berkembang dan berdaya guna nyata bagi anggota dan masyarakat. Pertumbuhan koperasi masih dalam wilayah pertumbuhan jumlah (kuantitatif) dan masih jauh dari pertumbuhan kualitas. Apa yang salah sesunggguhnya???.

Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa mengembangkan koperasi identik dengan mengembangkan perilaku kolektif didalam mencapai tujuan-tujuan bersama. Disinilah letak persoalan bermula dimana realitas masyarakat kekinian telah teracuni apa yang disebut dengan virus “individualisme” yang bermula dari tumbuh kembangbangnya faham hedonisme bercirikan budaya konsumerisme. Perasaan bangga bila lebih unggul dibanding lainnya (semangat kompetisi yang menyesatkan), keberhasilan yang di ukur dari kemampuan mengumpulkan harta, menipisnya kepedulian terhadap sesama, menipisnya kemauan untuk saling mencerdaskan (saling asah,saling asuh,salah asih), menipisnya rasa malu bertindak menyimpang , gampangnya masyarakat kelas bawah tersulut isu, merupakan sederet fakta yang menegaskan virus individualisme kian akud menggerogoti karakter asli masyarakat Indonesia. Nilai-nilai “kebersamaan dan kesetiakawanan” telah mengalami kemerosoton tajam. Dalam peta yang demikian, koperasi dipaksa berhadapan langsung (face to face) dengan realitas karakter mayoritas masyarakat yang jelas-jelas berseberangan dengan spirit dan nilai-nilai yang diperjuangkan koperasi. 

Dalam perspektif makro, menjadi menarik untuk menemukan muasal masuknya virus individualisme sehingga lebih mudah membentuk pertahanan (blokade) atau semacam perlawanan terhadap penyebaran virus dan sekaligus mempermudah perumusan anti virus yang terlanjut merasuk. Agenda ini menjadi penting guna memuluskan masuknya faham koperasi dalam mindset masyarakat. Pada saat koperasi sudah menjadi “life style”, pada saat yang sama pembangunan masyarakat dalam arti luas otomatis menjadi lebih mudah. Pada titik inilah sesungguhnya titik temu antara tujuan pembangunan nasional dengan pembangunan koperasi karena hahekat obyek yang dibangun adalah “sama” yaitu masyarakat. Oleh karena itu, berbicara koperasi sesungguhnya tidak terbatas membicarakan ekonomi saja, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter sosial dan budaya dari masyarakat. 

C. Menilik Sekilas Realitas Mayoritas Koperasi dan Menelusur “Core Problem”.
Secara agregat, koperasi di negeri tercinta ini belum mampu memerankan diri sebagai “soko guru perekonomian negara “ sebagaimana di cita-citakan oleh bapak koperasi (cq. Bung Hatta). Namun demikian, tak bijak mencari siapa yang salah, tetapi lebih baik mencari musabab yang menginspirasi penyusuan formulasi solusi komprehensif demi terbangunnya koperasi yang lebih berpengharapan di masa depan.

Berdasarkan pemangatan dan pengalaman empiris, “core problem” dari ke-belum majuan dan ke-belum berkembangan koperasi adalah karena koperasi telah meninggalkan Jati diri nya dan tergiur ber-praktek layaknya non koperasi (PT, UD dan lain sebagainya). Koperasi menjeburkan diri pada logika-logika bisnis ansih yang diwarnai semangat saling mengalahkan (baca: persaingan) demi perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya. Nafas kebersamaan, kegotong royongan, saling tolong menolong, kesetiakawanan, kian hari kian tidak terlihat dalam proses transaksi koperasi. Bahkan koperasi semakin asik dengan semangat pertumbuhan modal tanpa peduli apakah harus meng-eksploitasi potensi anggota. Anggota sebagai pemilik, penentu kebijakan dan control operasional hampir tidak berfungsi lagi dan anggota diposisikan sebagai market (pangsa pasar). Dalam hal ini, hubungan koperasi dengan anggotanya menjadi sebatas hubungan transaksional layaknya antara konsumen dan produsen (baca: penjual dan pembeli) di perusahaan-perusahaan non koperasi. Koperasi hampir tak lagi tertarik memobilisasi kebersamaan sebagai modal terbesar dalam menghasilkan karya-karya multi makna. Koperasi tak berfikir lagi menpersonifikasikan diri sebagai “sosial movement” dan penjaga gawang budaya. Koperasi telah difahami hanya dalam konteks ekonomi dan menjalankannya dengan prinsip-prinsip ekonomi ansih. Istilah SHU (Sisa Hasil Usaha) sudah tak memiliki nilai beda signifikan dengan istilah “LABA” pada badan usaha non koperasi. Bahkan, koperasi telah terjebak menjadi “agen strategis” yang mempersubur produk-produk kapitalis. Koperasi tak berfungsi lagi sebagai media edukasi yang mewarnai pola hidup anggotanya. Kepentingan-kepentingan pribadi yang dikerjasamakan tak lebih hanya aktivitas transaksional yang jauh dari spirit kebersamaa dan terjebak fokus pada pemenuhan kebutuhan. Koperasi tak tertarik lagi mengambil tanggungjawab untuk mengajarkan kepada anggotanya bagaimana menggunakan uang dengan bijak (use money wisely). Koperasi pun tak berfungsi lagi sebagai edukator bagaimana anggota mensikapi pola hidup kekinian dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kesederhanaan. Bahkan, tanpa disadari koperasi telah menjadi “agen sempurna” dalam menyuburkan spirit hedonisme yang berujung tumbuhnya pola hidup individualis.

Ironisnya, di satu sisi anggota selalu merasa tidak puas dengan kinerja koperasi nya dan berujung pada pendeskriditan pengurus dan pengawas, di sisi lain secara organisasi dan usaha koperasi tak kunjung lebih baik di banding dengan pelaku-pelaku ekonomi non koperasi. 

Koperasi harus kembali pada Jati Dirinya, sehingga layak berharap menjadi sokoguru ekonomi bangsa. 


D. Telisik Masalah Koperasi Secara Mikro.
Sub Bahasan sebelumnya menegaskan bahwa core problem (masalah utama) kebelum berkembangan koperasi adalah karena koperasi meninggalkan jati diri nya dan berpraktek sebagaimana badan usaha lainnya. Sementara itu, secara mikro persoalan koperasi sesungguhnya terletak pada orang-orangnya, sebab koperasi merupakan kumpulan orang. Jadi, kalau ada yang mengatakan kebelumberkembangan koperasi karena kurangnya modal sesungguhnya kurang tepat. Terbukti, ketika koperasi di beri bantuan lewat ragam program pemerintah ternyata tak bisa membuat koperasi itu melakukan lompatan kemajuan. Hal ini mempertegas ke-belum majuan bermula dari orang-orang yang berkumpul di dalamnya.
Secara singkat, ada 7 (tujuh) masalah utama yang melekat pada orang-orang koperasi, yaitu; (i) lemahnya pemahaman tentang koperasi; (ii) tidak tegasnya tujuan berkoperasi; (iii) belum adanya distribusi peran diantara unsur organisasi dalam mencapai tujuan; (iv) belum adanya distribusi hasil yang memotivasi partisipasi; (v) lemahnya jiwa kewirausahaan; (vi) lemahnya managerial skill dan; (viii) lemahnya kepemimpinan (leadersip).
Oleh kaarena itu, kalau koperasi ingin mengakar dan besar, 7 (tujuh) masalah dasar tersebut harus di selesaikan secara bertahap dan berkesinambungan.


E. Edukasi Sebagai Kunci Membangun Koperasi Benar
Dalam konsep jati diri koperasi, salah satu prinsipnya berbunyi pendidikan. Lewat pendidikan akan terbentuk pemahaman yang tepat tentang apa, mengapa dan bagaimana seharusnya berkoperasi. Lewat pemahaman, akan lahir tindakan berpihak dan advokasi (pembelaan) terhadap koperasi. Lewat akumulasi tindakan berpihak akan teridentifikasi ragam potensi yang bisa dikelola menjadi aktivitas produktif koperasi berbasis kebutuhan bersama . Pada titik inilah koperasi bisa di defenisikan sebagai market terlokalisir (located market). Pada iklim kebersamaan (kolektivitas) yang senantiasa terbangun dan terjaga, keberlangsungan dan masa depan organisasi dan usaha koperasi akan lebih terjamin.
Semua berawal dari pendidikan, sebab pendidikan adalah pintu memasuki perubahan. Oleh karena itu, idealnya koperasi mendidik calon anggota sebelum bergabung menjadi anggota. Dengan demikian, setiap anggota akan memahami bahwa ber-koperasi sesungguhnya ikut mengambil tanggungjawab secara sadar untuk membesarkan organisasi dan perusahaan. Anggota akan menyadari bahwa setiap partisipasinya berpengaruh besar pada ketercapaian apa-apa yang menjadi cita-cita bersama. Disamping itu, anggota juga akan mengambil inisiatif untuk saling menyemangati satu sama lain demi kesuksesan koperasi yang mereka miliki dan kendalikan bersama secara demokratis

Pada akhirnya, koperasi yang di huni oleh anggota yang memiliki kesadaran dan memahami apa, mengapa dan bagaimana seharusnya berkoperasi akan mewujud menjadi koperasi yang mengakar. Kemengakaran selanjutnya akan berimbas pada kebesaran koperasi itu sendiri. Selanjutnya akumulasi koperasi yang “mengakar dan besar” akan mampu memberikan kontribus dalam pembentukan tatanan kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat, khususnya dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Untuk itu, metodologi pendidikan koperasi menjadi kunci efektif dalam skenario pembangunan koperasi yang genuine (sesuai dengan konsepsinya). Metodologi yang diterapkan harus memperhatikan obyek yang akan di didik, sehingga tingkat efektivitasnya lebih terjamin. Di samping itu, ketersediaan edukator juga menjadi bagian penting terselenggaranya proses pendidikan yang efektif. 

Hal ini memang bukan perkara mudah, tetapi kebaikan dan kemuliaan nilai-nilai yang diperjuangkan dan peluang kontribusi koperasi terhadap pembangunan “kehidupan yang lebih baik”, menjadikan hal ini pantas di utamakan. Semangat koperasi sepatutnya terus di kobarkan lewat keseimbangan antara perkataan dan perbuatan, sehingga akan mendatangkan kepercayaan dan sekaligus semangat masyarakat untuk menjadi bagian dari keluarga besar koerasi.


F. Menggagas Kerja Sama Antar Koperasi
Hakekat koperasi adalah kerjasama (co-operative) dari orang per orang yang memiliki keyakinan dan komitmen untuk hidup bersama, khususnya dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kesamaan persepsi, kepercayaan satu sama lain dan spirit kolektivitas diantara mereka selanjutnya di mobilisasi ke arah keterlahiran ragam aktivitas yang berujung pada terwujudnya “mimpi kolektif” secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan kata lain, keterlahiran aktivitas dan kesejahteraan hanyalah “imbas” dari kualitas kebersamaan yang terbangun.
Sebagai ideologi yang menjunjung tinggi “kerjasama”, maka roh pembangunan koperasi identik dengan upaya mempertinggi nilai kerjasama itu sendiri. Demikian halnya ketika antar koperasi membangun sebuah kerjasama, sesungguhnya koperasi-koperasi tersebut tidak sedang belajar tentang membangun kerjasama tetapi hanya memperluas kerja sama itu sendiri. 

Dalam dataran praktis, ada 2 (dua) hal minimal yang perlu diperhatikan dalam membangun kerja sama produktif , yaitu :
1. “Trust atau kepercayaan”. Kepercayaan adalah modal terpenting dalam membangun kerja sama yang nyaman dan langgeng. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan dan tidak lahir dalam waktu singkat, tetapi merupakan akumulasi dari track record (rekam jejak) kebaikan dan konsistensi. Oleh karena itu, koperasi harus membangun mesin reputasi dalam bentuk karya-karya nyata berbasis kebersamaan. Satu hal yang menjadi catatan bahwa reputasi tidak bisa dibentuk lewat manipulasi persepsi, sebab waktu akan menguji kebenaran reputasi itu sendiri.
2. Kebermanfaatan. Dalam perspektif produktivitas, kemitraan yang terbangun di antara koperasi men-syaratkan adanya perekat berbentuk peningkatan nilai kebermanfaatan yang selanjautnya kan menjadi sumber semangat dan sekaligus energi dalam mensukseskan hal-hal yang dikerjasamakan.


G. Menilik Ragam Potensi Kemitraan Antar Koperasi
Sebagai organisasi berbasis kumpulan orang yang berkomitmen hidup bersama, saling percaya dan keinginan yang sama kuat untuk saling men-sejahterakan, merupakan modal penting dalam membentuk kerjasama di banyak. Kerja sama yang dibangun bisa dimaksudkan untukmemenuhi ragam kebutuhan maupun berkaitan dengan optimalisasi bakat/talenta yang melekat pada pribadi-pribadi anggota di masing-masing koperasi. 

Sebagai stimulan, berikut ini dipaparkan beberapa gagasan yang mungkin dikerjasamakan antar koperasi :
1. Join Education.
Sebagaimana di jelaskan di alinea sebelumnya tentang pentingnya pendidikan di koperasi, maka penyelenggarakan pendidikan koperasi yang berkualitas dan tepat sasaran (baca: berimplikasi nyata bagi percepatan perkembangan koperasi) memang bisa dilakukan bersama-sama. Koperasi-koperasi bisa membuat education centre (pusat pendidikan) yang fokus mendidik anggota, pengurus dan pengawas koperasi.
2. Join Business
Dalam mewujudkan kemampuan diri memenuhi aspirasi ekonomi, sosial dan budaya, koperasi perlu menyelenggarakan aktivitas usaha, baik berbasis kebutuhan anggota, potensi/bakat yang melekat pada anggota dan atau peluang yang mungkin bisa di maksimalkan dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi dan kelembagaan.
Bicara operasionalisasi usaha koperasi, tentu koperasi tidak bisa melepaskan diri dari prinsi-prinsip umum walau di beberapa hal terdapat kekhususan yang merupakan pembeda koperasi dibanding dengan usaha lainnya. Oleh karena itu, usaha koperasi juga sangat memperhatikan efisiensi, efektivitas dan produktivitas dalam arti luas. Atas dasar itu, koperasi perlu mengembangkan ragam strategi yang mengarah pada tujuan yang sama, yaitu “perluasan kebermanfaatan berkoperasi bagi segenap stake holder nya”.
Salah satu strategi yang bisa diambil adalah mengembangkan kerjasama antar koperasi dengan prinsip saling memperkuat dan memperluas nilai manfaat. Berikut dijelaskan beberapa gagasan kerja sama antar koperasi di bidang usaha yang mungkin bisa di laksanakan:
  • Join Buying (Membeli Bersama). Pada koperasi konsumsi, join buying sangat mungkin dilakukan karena dipastikan lebih efisien melalui pembelian dalam skala yang lebih besar. Harga perolehan yang lebih rendah tentu akan membentuk harga jual yang lebih rendah pula dan hal ini sangat menguntungkan anggota koperasi. Di sisi lain, ketika koperasi juga melayani non anggota, maka range margin yang di dapatkan akan menjadi lebih besar.

  • Join marketing.
Dalam sudut pandang “peta kebutuhan”, koperasi juga merupakan “kumpulan kebutuhan” sejak kelahirannya dan kian meluas seiring dengan pertumbuhan jumlah anggotanya. Artinya, antar koperasi yang memiliki kemampuan untuk memproduksi produk tertentu bisa kerjasama dalam hal pemasarannya dengan koperasi lain yang anggotanya membutuhkan produk tersebut.
  • Join Management
Me-manage usaha koperasi memiliki tingkat keunikan tersendiri. Hal ini mengingat koperasi bukan organisasi bebas nilai, tetapi terikat pada konsepsi “jati diri” yang sekaligus berfungsi sebagai pembeda nyata dibanding bentuk usaha lainnya. Pada titik inilah, koperasi dituntut bisa mengelola ragam usaha dengan baik dan mendasarkan diri pada nilai-nilai koperasi itu sendiri. Jika tidak, koperasi akan terjebak pada praktek non-koperasi sehingga terfokus pada pertumbuhan nilai uang semata. Namun demikian, menghadirkan seorang yang ahli dan faham koperasi mulai dari konsepsi sampai dengan operasionalisasi tidaklah mudah dan jumlahnya pun tidak banyak. Sulitnya mendapatkan para expertis (ahli) di bidang koperasi bermula dari rendahnya budaya apresiasi koperasi terhadap manajemen (baca: pengelola) sehingga hal ini tidak memotivasi sumber daya manusia potensian untuk bergabung dalam manajemen koperasi. Akibatnya, mendapatkan manajemen pelayanan berbasis nilai koperasi tergolong sangat jarang. Mayoritas pelayanan tersaji seadanya dan hampir tak mencerminkan semangat untuk berkembang. Hal ini sangat disayangkan, sebab kondisi ini tidak hanya membuat koperasi secara kelembagaan kurang berkembang, tetapi juga berakibat kurang teroptimalkannya ragam potensi yang melekat pada koperasi tersebut. Akhirnya, kebahagiaan segenap stake holder menjadi bagian dari keluarga koperasi menjadi beritu rendah.
Oleh karena itu, dalam meng-akselerasi pembangunan koperasi secara integratif, perlu dikaji pelibatan para profesional yang benar-benar mumpuni. Dalam hal mendatangkan para profesional tersebut, beberapa koperasi bisa bekerja sama untuk mengangkat profesional menangani koperasi-koperasi yang secara roh dan tata pengelolaan memiliki kesamaan pola. Inilah yang dimaksud dengan join management. Join management tidak hanya membuat peluang koperasi lebih berkembang, tetapi juga menjadi lebih efeisien tanpa mengurangi efektivitas dari pembangunan koperasi-koperasi itu sendiri.
  • Join Teknologi
Di kekinian zaman, teknologi banyak mempengaruhi tata kelola usaha dan juga pelayanan. Kecanggihan teknologi terbukti bisa menggerus waktu, jarak, meningkatkan validitas, mempengaruhi budaya dan bahkan citra organisasi dan perusahaan. Namun demikian, pelibatan teknologi dalam tata kelola organisasi dan usaha memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, kerja sama antar koperasi di bidang teknologi juga berpotensi menciptakan efisiensi tanpa mengurangi substansi teknologi dalam menunjang informasi, pelayanan,pencitraan, pembangunan trust dan lain sebagainya.
  • Interlanding
Sampai saat ini, koperasi belum punya lembaga penjamin likuiditas sehingga pola pelayanan masih mengandalkan kondisi internal masing-masing koperasi. Sebenarnya, koperasi juga bisa membentuk kerjasama dengan koperasi lainnya. Sebab, pada satu waktu sebuah koperasi mengalami over likuid dan di koperasi yang lain sedang membutuhkan tambahan dana untuk mendukung pelayanan. Ketika terjadi kerja sama interlanding maka hal ini akan sangat membantu perkembangan koperasi masing-masing yang bekerja sama.
  • Join Public Relation. Mayoritas koperasi masih lemah dalam hal pembangunan citra organisasi dan kelembagaan. Ragam aktivitas yang dilakukan tidak terkomunikasikan dengan baik terhadap stake holder koperasi itu sendiri. Akibatnya pesan dari sebuah aktivitas tidak tersosialisasikan atau tidak teredukasikan dengan tepat, sehingga rentetan aktivitas kurang memberi kontribusi optimal bagi pembentukan persepsi dan apresiasi dari pihak-pihak yang di targetkan. Oleh karena itu, Join Public Relation antar koperasi menjadi layak untuk di gagas sebagai bagian dari peningkatan persepsi dan apresiasi segenap stake holder koperasi.

  • Join Investmen (Investasi bersama).
Kalau ditilik dari sudut kebutuhan, sesungguhnya masing-masing anggota dari primer memiliki kesamaan. Akumulasi kesamaan ini bisa di drive menjadi inspirasi keterlahiran “join Investmen” diantara beberapa koperasi dalam hal pembuatan pusat-pusat pemenuhan kebutuhan ekonomi anggota, misalnya : join investmen dalam hal pembangunan supermarket, hotel, rumah makan, pembanguna perumahan dan lain sebagainya yang berorientasi pada pengembangan layanan kebutuhan anggota.
  • Dan lain sebagainya.
Banyak hal lain yang bisa dikerjasamakan antar koperasi sepanjang hal tersebut memperluas kebermanfaatan koperasi bagi segenap stake holdernya dan tidak bertentangan dengan aturan dan undang-undang yang berlaku. 

Dari penjelasan di atas, mengembangkan kerjasama antar koperasi sesungguhnya bukanlah perkara sulit bagi koperasi-koperasi yang sudah mengakar, sebab pada hakekatnya tindakan itu hanyalah memperluas kerjasama dimana koperasi sudah terlatih secara internal. Namun demikian, minimnya kreativitas, kurangnya saling percaya dan rendahnya keterlatihan dalam hal berbagi peran dalam pencapaian maupun distribusi hasil, sering jadi faktor-faktor penghambat terwujudnya kerjasama antara koperasi itu.


H. Keluh Kesah Muasal Gairah
Telusur logika menyimpulkan koperasi layak di operasionalkan. Konsepsi yang memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip sangat rasional dijadikan mesin pencetak kemakmuran ekonomi, sosial dan budaya. Koperasi juga berpeluang menjadi satu kekuatan besar yang bisa mempengaruhi banyak sisi kehidupan masyarakat.
Pengungkapan peta realitas dan masalah yang melingkupi kehidupan koperasi dalam tulisan ini, sesungguhnya bagian dari upaya membentuk kesamaan persepsi dan sekaligus membangun semangat untuk menyusun langkah-langkah. Kalau kemudian faktanya belum berkembang, pada titik itulah sesungguhnya letak medan perjuangan. Bayang keberhasilan nan indah sepatutnya dijadikan sebagai magnet semangat dan sumber inspirasi bagi tertemukannya cara-cara yang lebih efektif bagi keberdayaan koperasi. “Continues improvement” harus dijadikan sebagai budaya dalam mengembangkan setiap gagasan dan mensikapi pencapaian koperasi. 

I. Penghujung : Menggugat Judul Tulisan
Hidup bersama, saling percaya dan saling berbagi bukanlah perkara mudah, kecuali bagi orang yang bisa merubah kata “Aku, dia, mereka dan kamu” menjadi kata “kita”. Sementara itu, mewujudkan kata “kita” dalam arti luas hanya biasa di dilakukan orang-orang yang bijaksana dalam berfikir maupun dalam tindakan. Hal ini sangat di pengaruhi oleh kualitas spiritualitas seseorang. 

Dalam perspektif usia, kebijaksanaan sering didapati pada mereka yang sudah tua (baca: kakek-kakek atau nenek-nenek) dimana mereka telah mengalami asam garam kehidupan. Mereka mulai fokus pada investasi sosial (social investmen) sebagai bagian dari upaya mempertinggi “nilai kebaikan” di pandangan Tuhan. Sementara itu, di kebanyakan kaum muda yang lahir di zaman serba instan banyak terjangkit virus individualisme yang cenderung egois dan bahkan autis dalam tanda kutip. Hal ini sangat berseberangan dengan nilai-nilai kolektivitas (kebersamaan) yang diperjuangkan koperasi. 

Oleh karena itu, tulisan ini sengaja mengambil judul aneh yaitu “membangun koperasi melalui pelibatan Kakek-kakek, Nenek-Nenek Atau Anak Muda Yang Aneh”. Keanehan merupakan bagian dari cara mengajak “kontemplasi berjamaa’ah” tentang hakekat koperasi dengan harapan akan mendatangkan lompatan keyakinan dan sekaligus melahirkan semangat pembuktian.
Akhirnya, semua ini bukan tentang kakek-kakek, nenek-nenek atau anak muda yang aneh, tetapi tentang perlunya membudayakan kebijaksanaan berfikir dan bertindak di keseharian hidup sebagai pra-syarat membangun sebuah koperasi yang tangguh. Semoga berkoperasi tidak hanya meningkatkan kualitas ke “KITA”an segenap lapisan masyarakat , tetapi juga menjadi bagian dari upaya mempertinggi “nilai kebaikan” di pandangan Tuhan. Aminn. Semoga menginspirasi……