Oleh : Hendri Teja
Ketika saya menawarkan arsitektur bisnis untuk meningkatkan kinerja
perguruan tinggi, banyak rekan-rekan pendidik yang sangsi. “Memangnya
institusi pendidikan itu perusahaan?” menjadi sanggahan yang paling
sering diajukan. Benar. Perguruan tinggi bukan perusahaan. Tetapi
keduanya sama-sama organisasi. Dan sesungguhnya arsitektur bisnis memang
sengaja diciptakan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Untuk
menggerus salah kaprah ini, maka Mathiyas Thaib mendefinisikan
arsitektur bisnis sebagai cetak biru (blue print) atau rancangan dan rencana menyeluruh (comprehensive) serta terintegrasi (integrated) yang dimulai dari level atas (strategic layer) sampai kepada level bawah (operational layer). Definisi ini sangat khas organisasi bukan perusahaan semata.
Jiwa Arsitektur Bisnis
Lebih lanjut, arsitektur bisnis dijiwai oleh tiga konsep dasar yaitu
Balanced Scorecard (BSC), rantai nilai (value chain) dan proses bisnis.
Mari kita bedah, konsep ini satu persatu.
1. Balanced Scorecard (BSC)
Merupakan pendekatan baru terhadap manajemen, yang dikembangkan pada
tahun 1990-an oleh Robert Kaplan (Harvard Business School) dan David
Norton (Renaissance Solution, Inc.). BSC hadir sebagai kritik atas
mainstream pengukuran kinerja keuangan, di mana keberhasilan perusahaan
hanya dinilai dari segi keseimbangan neraca (balance sheet). BSC
menawarkan pengukuran kinerja melalui empat perspektif, yaitu : (1)
perspektif pembelajaran, (2) perspektif internal proses, (3) perspektif
pengguna, dan (4) perspektif keuangan. BSC dinilai lebih layak karena,
bagaimanapun juga, untuk memandu dan mengevaluasi suatu perjalanan
perusahaan pada era informasi, harus disusun suatu nilai masa depan
melalui investasi pada pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi,
dan inovasi.
2. Proses Bisnis
Pertama kali dilontarkan oleh Michael Hammer (Massachusetts Institute
of Technology) dalam bukunya yang sangat terkenal “Business Process
Reengineering” pada tahun 90‐an. Ia bermaksud menyederhanakan cara‐cara
bekerja korporasi dan pemerintah yang sudah terlanjur menjadi sangat
birokratis, yang menyebabkan ketidakefisienan dan sangat sulit
diintegrasikan dengan pendayagunaan teknologi informasi. Proses bisnis
dapat didefinisikan sebagai kumpulan proses kerja yang memiliki
keterkaitan, ketergantungan dan hubungan sebab akibat satu sama lainnya
serta memiliki tujuan akhir di dalam sebuah organisasi perusahaan atau
lembaga. Tujuan akhir proses bisnis adalah menciptakan atau memberikan
nilai maksimun kepada para penggunanya.
3. Rantai Nilai (value chain)
Dipopulerkan oleh Michael Porter, dan merupakan pengembangan dari
konsep proses bisnisnya Michael Hammer. Inti dari konsep ini adalah
penciptaan nilai tambah dari setiap aktivitas, proses kerja dan proses
bisnis yang dilakukan. Penjelasan seperti ini. Dalam menjalankan proses
kerja di organisasi pasti terjadi hubungan atau interaksi antar proses
baik di dalam kelompok proses utama maupun dengan proses penunjang.
Ibarat suatu mata rantai (chain), masing-masing interaksi tersebut
saling memiliki keterkaitan. Setiap aktivitas harus menciptakan nilai
tambah untuk aktivitas berikutnya. Secara totalitas keterkaitan
aktivitas-aktivitas tersebut merupakan proses penciptaan nilai tambah
(added value). Sehingga aktivitas dan atau proses yang tidak bernilai
tambah sebaiknya ditiadakan saja.
Maka jika arsitektur bisnis diibaratkan sebagai gedung pencakar
langit. BSC adalah lantai-lantainya. Pada setiap lantai terjadi berbagai
aktifitas yang kemudian menjadi proses kerja dan akhirnya membangun
suatu proses bisnis. Interaksi antar proses baik di dalam kelompok
proses utama maupun dengan proses penunjang saling terkait selayak mata
rantai, di mana setiap proses bisnis berorientasi untuk meningkatkan
nilai tambah bagi proses bisnis selanjutnya
Peta Operasional Perguruan Tinggi
Lantas, bagaimana konkrit penerapan arsitektur bisnis di perguruan
tinggi? Secara paripurna tulisan ini akan sulit mengakomodir
penerapannya. Karena itu kali ini kita akan menekankan pada generik
strateginya saja, yaitu peta operasional perguruan tinggi.
Ketika bicara tentang peta operasional, maka kita akan mendedah
tujuan organisasi. Banyak nian tujuan perguruan tinggi yang disosorkan.
Tetapi jika mau dipukul rata, sebenarnya arahannya adalah benefit dan
profit. Dan muara dari keduanya adalah pencapaian peningkatan nilai
organisasi secara berkelanjutan.
Kelemahan mendasar dari banyak organisasi di tanah air kita adalah
kegagalan menyusun peta operasional. Kegagalan ini menyebabkan
ketidaktepatan strategi dan dampak dari strategi dengan harapan dari
organisasi itu sendiri. Parahnya, seringkali manajemen perguruan tinggi
hanya berfokus pada “ujung” operasional. Strategi yang dipakai berada di
tahap “nyaris ke ujung”. Padahal yang namanya “ujung” tidak akan pernah
terlepas dari keberadaan pangkal.
Ambil contoh, perguruan tinggi ingin menekankan peningkatan profit.
Strategi yang diterapkan adalah membangun citra layanan pembelajaran.
Manajemen pemasaran nomor wahid digelontorkan. Walhasil,
berduyun-duyunlah calon mahasiswa baru mendaftar.
Namun, bagaimanapun penyelenggaraan perguruan tinggi tidak berhenti
di tahapan penjualan. Salah satu proses utama adalah manajemen
pembelajaran. Ini akan terkait dengan kualitas, biaya dan waktu
penyerahan jasa tersebut. Jika pemasaran tidak iikuti dengan peningkatan
manajemen pembelajaran, akibatnya pasti mahasiswa akan kecewa. Kualitas
pembelajaran anjlok karena sarana prasarana tidak memadai, dosen tidak
kompeten, tenaga kependidikan tidak ramah dan gemar mempersulit
mahasiswa. Peserta didik yang kecewa dapat melakukan gerakan-gerakan
yang menghambat penyelenggaraan perguruan tinggi –unjukrasa misalnya. Di
lain sisi, sudah pasti kelemahan manajemen pembelajaran akan berdampak
pada rendahnya kompetensi lulusan. Boleh jadi kekecawaan akan berlanjut
pada perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan alumni perguruan tinggi
tersebut.
Lalu sadarlah kita bahwa untuk mencapai peningkatan nilai perguruan
tinggi harus melintasi tahapan-tahapan, yaitu perspektif pembelajaran,
perspektif internal proses, perspektif pengguna dan perspektif pemilik.
Sebagai suatu tahapan maka jangan harap kondisi yang termaktub
perspektif pemilik dapat dicapai dengan hanya menekankan perspektif
pengguna semata. Pasalnya, perspektif pengguna adalah akibat dari
perspektif internal proses yang merupakan muara dari kinerja perspektif
pembelajaran. Pembagian ini adalah penerapan dari konsep BSC.
Misalnya begini. Peningkatan teknologi dan informasi pada perspektif
pembelajaran akan berdampak membaiknya penggunaan sarana dan prasarana
serta pembelajaran pada perpektif internal proses. Jika keduanya baik,
secara otomatis maka kualitas pembelajaran akan baik, biaya
pembelajaran akan menurun, dan waktu pembelajaran juga akan membaik.
Jika kualitas, biaya dan waktu tersebut membaik akan mendorong
peningkatan kompetensi dan prestasi dari mahasiswa. Ini adalah logika
kausalitas yang menjiwai konsep rantai nilai.
Permasalahannya, bagaimana cara melaksanakannya? Peta operasional
hanya memuat gagasan dasar, untuk dapat workable maka perlu dirumuskan
tujuan strategi untuk setiap pemangku kepentingan, yang dilanjutkan
dengan penetapan target strategi. Target inilah yang dijadikan tolok
ukur proses pencapaian atau biasa disebut Key Performance Indicator.
Setiap tujuan strategi memiliki program inisiatif yang harus dijalankan
dan dilaksanakan secara berkelanjutan.
Untuk mencapai target-target tersebut maka program inisiatif harus di-breakdown
lagi menjadi aktivitas-aktivitas sehingga semua tahu “siapa bertindak
apa”. Semakin besar suatu organisasi maka semakin kompleks program
insiatif yang harus dilakukan, dan semakin banyaklah aktivitas-aktivitas
yang harus dilakukan. Untuk lebih memudahkan perancangan ini, Mathiyas
Thaib telah merancang I- MT Diagram seperti terlihat pada gambar
berikut ini :
Pada titik ini mungkin timbul pertanyaan mengerikan, “jadi setiap
aktivitas tersebut harus dilakukan?” Tidak begitu juga. Porter menyebut
untuk mencapai kinerja maksimal harus dipilih aktivitas utama dari
ratusan aktivitas yang tersedia dalam proses bisnisnya agar tercapai
diferensiasi dan tidak mudah ditiru oleh pesaingnya. Aktivitas utama ini
adalah aktivitas yang dinilai berdampak signifikan terhadap pencapaian
kinerja. Kemudian selenggarakan aktivitas dan proses tersebut dengan
cara terbaik dan maksimal untuk memenuhi keinginan pelanggannya.
Tentu saja untuk menemukan KPI dan aktivitas utama tidaklah mudah.
Perlu waktu khusus untuk menyusun KPI dari masing-masing perspektif,
merumuskan program inisiatif dan mem-breakdown-nya menjadi
aktivitas-aktivitas, dan menentukan aktivitas utamanya.
Perumusan ini hanya akan tepat sasaran jika kalangan manajemen kunci
dan para pihak yang terkait dengan perumusan tersebut paham akan BSC,
rantai nilai dan proses bisnis. Tiga konsep yang menjadi jiwa dari
arsitektur bisnis.
Sumber : http://www.alomet.net/?p=1397
Tidak ada komentar:
Posting Komentar