Jumat, 13 Juli 2012

Penerapan Arsitektur Bisnis Untuk Pengelolaan Perguruan Tinggi

Oleh : Hendri Teja

Ketika saya menawarkan arsitektur bisnis untuk meningkatkan kinerja perguruan tinggi, banyak rekan-rekan pendidik yang sangsi. “Memangnya institusi pendidikan itu perusahaan?” menjadi sanggahan yang paling sering diajukan. Benar. Perguruan tinggi bukan perusahaan. Tetapi keduanya sama-sama organisasi. Dan sesungguhnya arsitektur bisnis memang sengaja diciptakan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Untuk menggerus salah kaprah ini, maka Mathiyas Thaib mendefinisikan arsitektur bisnis sebagai  cetak biru (blue print) atau rancangan dan rencana menyeluruh (comprehensive) serta terintegrasi (integrated) yang dimulai dari level atas (strategic layer) sampai kepada level bawah (operational layer). Definisi ini sangat khas organisasi bukan perusahaan semata.

Jiwa Arsitektur Bisnis

Lebih lanjut, arsitektur bisnis dijiwai oleh tiga konsep dasar yaitu Balanced Scorecard (BSC), rantai nilai (value chain) dan proses bisnis. Mari kita bedah, konsep ini satu persatu.

1. Balanced Scorecard (BSC)
Merupakan pendekatan baru terhadap manajemen, yang dikembangkan pada tahun 1990-an oleh Robert Kaplan (Harvard Business School) dan David Norton (Renaissance Solution, Inc.). BSC hadir sebagai kritik atas mainstream pengukuran kinerja keuangan, di mana keberhasilan perusahaan hanya dinilai dari segi keseimbangan neraca (balance sheet). BSC menawarkan pengukuran kinerja melalui empat perspektif, yaitu : (1) perspektif pembelajaran, (2) perspektif internal proses, (3) perspektif pengguna, dan (4) perspektif keuangan. BSC dinilai lebih layak karena, bagaimanapun juga, untuk memandu dan mengevaluasi suatu perjalanan perusahaan pada era informasi, harus disusun suatu nilai masa depan melalui investasi pada pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi, dan inovasi.
2. Proses Bisnis
Pertama kali dilontarkan oleh Michael Hammer (Massachusetts Institute of Technology) dalam bukunya yang sangat terkenal “Business Process Reengineering” pada tahun 90‐an.  Ia bermaksud menyederhanakan cara‐cara bekerja korporasi dan pemerintah yang sudah terlanjur menjadi sangat birokratis, yang menyebabkan ketidakefisienan dan sangat sulit diintegrasikan dengan pendayagunaan teknologi informasi. Proses bisnis dapat didefinisikan sebagai kumpulan proses kerja yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan hubungan sebab akibat satu sama lainnya serta memiliki tujuan akhir di dalam sebuah organisasi perusahaan atau lembaga. Tujuan akhir proses bisnis adalah menciptakan atau memberikan nilai maksimun kepada para penggunanya.

3. Rantai Nilai (value chain)
Dipopulerkan oleh Michael  Porter, dan merupakan pengembangan dari konsep  proses bisnisnya Michael Hammer.  Inti dari konsep ini adalah penciptaan nilai tambah dari setiap aktivitas, proses kerja dan proses bisnis yang dilakukan.  Penjelasan seperti ini. Dalam menjalankan proses kerja di organisasi pasti terjadi hubungan atau interaksi antar proses baik di dalam kelompok proses utama maupun dengan proses penunjang. Ibarat suatu mata rantai (chain), masing-masing interaksi tersebut saling memiliki keterkaitan. Setiap aktivitas harus menciptakan nilai tambah untuk aktivitas berikutnya. Secara totalitas keterkaitan aktivitas-aktivitas tersebut merupakan proses penciptaan nilai tambah (added value). Sehingga aktivitas dan atau proses yang tidak bernilai tambah sebaiknya ditiadakan saja.

Maka jika arsitektur bisnis diibaratkan sebagai gedung pencakar langit. BSC adalah lantai-lantainya. Pada setiap lantai terjadi berbagai aktifitas yang kemudian menjadi proses kerja dan akhirnya membangun suatu proses bisnis. Interaksi antar proses baik di dalam kelompok proses utama maupun dengan proses penunjang saling terkait selayak mata rantai, di mana setiap proses bisnis berorientasi untuk meningkatkan nilai tambah bagi proses bisnis selanjutnya

Peta Operasional Perguruan Tinggi

Lantas, bagaimana konkrit penerapan arsitektur bisnis di perguruan tinggi? Secara paripurna tulisan ini akan sulit mengakomodir penerapannya. Karena itu kali ini kita akan menekankan pada generik strateginya saja, yaitu peta operasional perguruan tinggi.
Ketika bicara tentang peta operasional, maka kita akan mendedah tujuan organisasi. Banyak nian tujuan perguruan tinggi yang disosorkan. Tetapi jika mau dipukul rata, sebenarnya arahannya adalah benefit dan profit. Dan muara dari keduanya adalah pencapaian peningkatan nilai organisasi secara berkelanjutan.
Kelemahan mendasar dari banyak organisasi di tanah air kita adalah kegagalan menyusun peta operasional. Kegagalan ini menyebabkan ketidaktepatan strategi dan dampak dari strategi dengan harapan dari organisasi itu sendiri. Parahnya, seringkali manajemen perguruan tinggi hanya berfokus pada “ujung” operasional. Strategi yang dipakai berada di tahap “nyaris ke ujung”. Padahal yang namanya “ujung” tidak akan pernah terlepas dari keberadaan pangkal.

Ambil contoh, perguruan tinggi ingin menekankan peningkatan profit. Strategi yang diterapkan adalah membangun citra layanan pembelajaran. Manajemen pemasaran nomor wahid digelontorkan. Walhasil, berduyun-duyunlah calon mahasiswa baru mendaftar.
Namun, bagaimanapun penyelenggaraan perguruan tinggi tidak berhenti di tahapan penjualan. Salah satu proses utama adalah manajemen pembelajaran. Ini akan terkait dengan kualitas, biaya dan waktu penyerahan jasa tersebut. Jika pemasaran tidak iikuti dengan peningkatan manajemen pembelajaran, akibatnya pasti mahasiswa akan kecewa. Kualitas pembelajaran anjlok karena sarana prasarana tidak memadai, dosen tidak kompeten, tenaga kependidikan tidak ramah dan gemar mempersulit mahasiswa. Peserta didik yang kecewa dapat melakukan gerakan-gerakan yang menghambat penyelenggaraan perguruan tinggi –unjukrasa misalnya. Di lain sisi, sudah pasti kelemahan manajemen pembelajaran akan berdampak pada rendahnya kompetensi lulusan. Boleh jadi kekecawaan akan berlanjut pada perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan alumni perguruan tinggi tersebut.
Lalu sadarlah kita bahwa untuk mencapai peningkatan nilai perguruan tinggi harus melintasi tahapan-tahapan, yaitu perspektif pembelajaran, perspektif internal proses, perspektif pengguna dan perspektif pemilik. Sebagai suatu tahapan maka jangan harap kondisi yang termaktub perspektif pemilik dapat dicapai dengan hanya menekankan perspektif pengguna semata. Pasalnya, perspektif pengguna adalah akibat dari perspektif internal proses yang merupakan muara dari kinerja perspektif pembelajaran. Pembagian ini adalah penerapan dari konsep BSC.

Misalnya begini. Peningkatan teknologi dan informasi pada perspektif pembelajaran akan berdampak membaiknya penggunaan sarana dan prasarana serta pembelajaran pada perpektif internal proses. Jika keduanya baik, secara otomatis  maka kualitas pembelajaran akan baik, biaya pembelajaran akan menurun, dan waktu pembelajaran juga akan membaik. Jika kualitas, biaya dan waktu tersebut membaik akan mendorong peningkatan  kompetensi dan prestasi dari mahasiswa. Ini adalah logika kausalitas yang menjiwai konsep rantai nilai.
Permasalahannya, bagaimana cara melaksanakannya? Peta operasional hanya memuat gagasan dasar, untuk dapat workable maka perlu dirumuskan tujuan strategi untuk setiap pemangku kepentingan, yang dilanjutkan dengan penetapan target strategi. Target inilah yang dijadikan tolok ukur proses pencapaian atau biasa disebut Key Performance Indicator. Setiap tujuan strategi memiliki program inisiatif yang harus dijalankan dan dilaksanakan secara berkelanjutan.
Untuk mencapai target-target tersebut maka program inisiatif harus di-breakdown lagi menjadi aktivitas-aktivitas sehingga semua tahu “siapa bertindak apa”. Semakin besar suatu organisasi maka semakin kompleks program insiatif yang harus dilakukan, dan semakin banyaklah aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan. Untuk lebih memudahkan perancangan ini, Mathiyas Thaib telah merancang  I- MT Diagram seperti terlihat pada gambar berikut ini :



Pada titik ini mungkin timbul pertanyaan mengerikan, “jadi setiap aktivitas tersebut harus dilakukan?” Tidak begitu juga. Porter menyebut untuk mencapai kinerja maksimal harus dipilih aktivitas utama dari ratusan aktivitas yang tersedia dalam proses bisnisnya agar tercapai diferensiasi dan tidak mudah ditiru oleh pesaingnya. Aktivitas utama ini adalah aktivitas yang dinilai berdampak signifikan terhadap pencapaian kinerja. Kemudian selenggarakan aktivitas dan proses tersebut dengan cara terbaik dan maksimal untuk memenuhi keinginan pelanggannya.



Tentu saja untuk menemukan KPI dan aktivitas utama tidaklah mudah. Perlu waktu khusus untuk menyusun KPI dari masing-masing perspektif, merumuskan program inisiatif dan mem-breakdown-nya menjadi aktivitas-aktivitas, dan menentukan aktivitas utamanya.
Perumusan ini hanya akan tepat sasaran jika kalangan manajemen kunci dan para pihak yang terkait dengan perumusan tersebut paham akan BSC, rantai nilai dan proses bisnis. Tiga konsep yang menjadi jiwa dari arsitektur bisnis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar